: Tulisan Santi Sehari Sebelum Mavi Marmara Diserang Israel :

Monday, 31 May 2010
 ISRAEL SERANG KAPAL KEMANUSIAAN

Jakarta - Santi Soekanto adalah salah satu dari 12 WNI di kapal Mavi Marmara yang diserbu Israel. Sebelum penyerbuan itu, Santi sempat mengirimkan surat elektronik yang sangat menyentuh.

Surat ini bertajuk 'Gaza Tidak Membutuhkanmu!' yang dikirim pada Minggu 30 Mei 2010, atau sehari sebelum serangan Israel. Surat dibuat mantan jurnalis The Jakarta Post ini di atas kapal Mavi Marmara saat masih berada di Laut Tengah, 180 mil dari Pantai Gaza.

Saat itu, aktivis Sahabat Al Aqsha dan anggota tim Freedom Flotilla lain tengah menunggu kedatangan tim lain untuk nanti sama-sama berangkat ke Gaza. Namun kabar akan serangan Israel sudah beredar.

"Kami masih menanti, masih tidak pasti, sementara berita berbagai ancaman Israel berseliweran," kata Santi dalam pembukaan suratnya.

Ibu rumah tangga ini berbagi pengalamannya bertemu dengan ratusan orang dengan berbagai latar belakang. Masing-masing dengan gayanya sendiri. Ada anak buah politisi Inggris yang petantang-petenteng, sampai aktivis perempuan muslimah yang pendiam, namun cekatan untuk memastikan semua rombongan bisa makan tepat waktu. Berikut adalah surat lengkap Santi untuk temannya Tommi Satryatomo yang kemudian dipasang di blognya:

Gaza Tidak Membutuhkanmu!

Di atas M/S Mavi Marmara, di Laut Tengah, 180 mil dari Pantai Gaza.

Sudah lebih dari 24 jam berlalu sejak kapal ini berhenti bergerak karena sejumlah alasan, terutama menanti datangnya sebuah lagi kapal dari Irlandia dan datangnya sejumlah anggota parlemen beberapa negara Eropa yang akan ikut dalam kafilah Freedom Flotilla menuju Gaza. Kami masih menanti, masih tidak pasti, sementara berita berbagai ancaman Israel berseliweran.

Ada banyak cara untuk melewatkan waktu – banyak di antara kami yang membaca Al-Quran, berzikir atau membaca. Ada yang sibuk mengadakan halaqah. Beyza Akturk dari Turki mengadakan kelas kursus bahasa Arab untuk peserta Muslimah Turki. Senan Mohammed dari Kuwait mengundang seorang ahli hadist, Dr Usama Al-Kandari, untuk memberikan kelas Hadits Arbain an-Nawawiyah secara singkat dan berjanji bahwa para peserta akan mendapat sertifikat.

Wartawan sibuk sendiri, para aktivis – terutama veteran perjalanan-perjalanan ke Gaza sebelumnya – mondar-mandir; ada yang petantang-petenteng memasuki ruang media sambil menyatakan bahwa dia "tangan kanan" seorang politisi Inggris yang pernah menjadi motor salah satu konvoi ke Gaza.

Activism

Ada begitu banyak activism, heroism. Bahkan ada seorang peserta kafilah yangmengenakan T-Shirt yang di bagian dadanya bertuliskan "Heroes of Islam" alias "Para Pahlawan Islam." Di sinilah terasa sungguh betapa pentingnya menjaga integritas niat agar selalu lurus karena Allah Ta'ala.

Yang wartawan sering merasa hebat dan powerful karena mendapat perlakuan khusus berupa akses komunikasi dengan dunia luar sementara para peserta lain tidak. Yang berposisi penting di negeri asal, misalnya anggota parlemen atau pengusaha, mungkin merasa diri penting karena sumbangan material yang besar terhadap Gaza.

Kalau dibiarkan riya akan menyelusup, na'udzubillahi min dzaalik, dan semua kerja keras ini bukan saja akan kehilangan makna bagaikan buih air laut yang terhempas ke pantai, tapi bahkan menjadi lebih hina karena menjadi sumber amarah Allah Ta'ala.

Mengerem

Dari waktu ke waktu, ketika kesibukan dan kegelisahan memikirkan pekejaan menyita kesempatan untuk duduk merenung dan tafakkur, sungguh perlu bagiku untuk mengerem dan mengingatkan diri sendiri. Apa yang kau lakukan Santi? Untuk apa kau lakukan ini Santi? Tidakkah seharusnya kau berlindung kepada Allah dari ketidakikhlasan dan riya? Kau pernah berada dalam situasi ketika orang menganggapmu berharga, ucapanmu patut didengar, hanya karena posisimu di sebuah penerbitan? And where did that lead you? Had that situation led you to Allah, to Allah's blessing and pleasure, or had all those times brought you Allah's anger and displeasure?

Kalau hanya sekedar penghargaan manusia yang kubutuhkan di sini, Subhanallah, sungguh banyak orang yang jauh lebih layak dihargai oleh seisi dunia di  sini. Mulai dari Presiden IHH Fahmi Bulent Yildirim sampai seorang Muslimah muda pendiam dan shalihah yang tidak banyak berbicara selain sibuk membantu agar kawan-kawannya mendapat sarapan, makan siang dan malam pada waktunya. Dari para ulama terkemuka di atas kapal ini, sampai beberapa pria ikhlas yang tanpa banyak bicara sibuk membersihkan bekas puntung rokok sejumlah perokok ndableg.

Kalau  hanya sekedar penghargaan manusia yang kubutuhkan di sini, Subhanallah, di tempat ini juga ada orang-orang terkenal yang petantang-petenteng karena ketenaran mereka.

Semua berteriak, "Untuk Gaza!" namun siapakah di antara mereka yang teriakannya memenangkan ridha Allah? Hanya Allah yang tahu.

Gaza Tak Butuh Aku

Dari waktu ke waktu, aku perlu memperingatkan diriku bahwa Al-Quds tidak membutuhkan aku. Gaza tidak membutuhkan aku. Palestina tidak membutuhkan aku.

Masjidil Aqsha milik Allah dan hanya membutuhkan pertolongan Allah. Gaza hanya butuh Allah. Palestina hanya membutuhkan Allah. Bila Allah mau, sungguh mudah bagiNya untuk saat ini juga, detik ini juga, membebaskan Masjidil Aqsha. Membebaskan Gaza dan seluruh Palestina.

Akulah yang butuh berada di sini, suamiku Dzikrullah-lah yang butuh berada di sini karena kami ingin Allah memasukkan nama kami ke dalam daftar hamba-hambaNya yang bergerak - betapa pun sedikitnya - menolong agamaNya. Menolong membebaskan Al-Quds.

Sungguh mudah menjeritkan slogan-slogan, Bir ruh, bid dam, nafdika ya Aqsha. Bir ruh bid dam, nafdika ya Gaza!

Namun sungguh sulit memelihara kesamaan antara seruan lisan dengan seruan hati.

Cara Allah Mengingatkan

Aku berusaha mengingatkan diriku selalu. Namun Allah selalu punya cara terbaik untuk mengingatkan aku.

Pagi ini aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekedarnya - karena tak mungkin mandi di tempat dengan air terbatas seperti ini, betapa pun gerah dan bau asemnya tubuhku.

Begitu masuk ke salah satu bilik, ternyata toilet jongkok yang dioperasikan dengan sistem vacuum seperti di pesawat itu dalam keadaan mampheeeeet karena ada dua potongan kuning coklaaat menyumbat lubangnya! Apa yang harus kulakukan? Masih ada satu bilik dengan toilet yang berfungsi, namun kalau kulakukan itu, alangkah tak bertanggung-jawabnya aku rasanya? Kalau aku mengajarkan kepada anak-anak bahwa apa pun yang kita lakukan untuk membantu mereka yang fii sabilillah akan dihitung sebagai amal fii sabilillah, maka bukankah sekarang waktunya aku melaksanakan apa yang kuceramahkan?

Entah berapa kali kutekan tombol flush, tak berhasil. Kotoran itu ndableg bertahan di situ. Kukosongkan sebuah keranjang sampah dan kuisi dengan air sebanyak mungkin – sesuatu yang sebenarnya terlarang karena semua peserta kafilah sudah diperingatkan untuk menghemat air - lalu kusiramkan ke toilet.

Masih ndableg.
Kucoba lagi menyiram
Masih ndableg.
Tidak ada cara lain. Aku harus menggunakan tanganku sendiri

Kubungkus tanganku dengan tas plastik. Kupencet sekali lagi tombol flush. Sambil sedikit melengos dan menahan nafas, kudorong tangan kiriku ke lubang toilet.

Blus!
Si kotoran ndableg itu pun hilang disedot pipa entah kemana

Lebih dari 10 menit kemudian kupakai untuk membersihkan diriku sebaik mungkin sebelum kembali ke ruang perempuan, namun tetap saja aku merasa tak bersih. Bukan di badan, mungkin, tapi di pikiranku, di jiwaku.

Ada peringatan Allah di dalam kejadian tadi - agar aku berendah-hati, agar aku ingat bahwa sehebat dan sepenting apa pun tampaknya tugas dan pekerjaanku, bila kulakukan tanpa keikhlasan, maka tak ada artinya atau bahkan lebih hina daripada mendorong kotoran ndableg tadi.

Allahumaj'alni minat tawwabiin
Allahumaj'alni minal mutatahirin
Allahumaj'alni min ibadikassalihin

29 Mei 2010, 22:20

Santi Soekanto
Ibu rumah tangga dan wartawan yang ikut dalam kafilah Freedom Flotilla to Gaza Mei 2010. (fay/nrl)

0 comments:

Post a Comment